Saya mematung selama beberapa menit dengan laptop yang ada di pangkuan saya setelah mendengarkan album kedua dari The Trees and The Wild, Zaman, Zaman. Bukan, bukan karena saya terhantam dengan telak atau terpukau dengan ramuan musik terbaru mereka, tapi saya sedang mengambil waktu untuk dapat memahami apa yang baru saja saya dengarkan. Album kedua The Trees and The Wild ini adalah sebuah penantian yang panjang dari raksasa folk Indonesia, setelah debut memukau yang menghantarkan mereka ke sebuah kolom di majalah TIME. Saya kira itu alasan yang sangat cukup untuk mulai membicarakan album ini.

Saya boleh dibilang beruntung karena saya bukan termasuk orang yang mendengarkan The Trees and The Wild secara relijius. Bahkan jika kalian mau tahu, saya tidak hapal betul lagu-lagu yang dituang dalam album debut Rasuk. Hal itu nyatanya justru membantu saya dalam melihat album Zaman, Zaman ini tanpa kaca mata The Trees and The Wild masa-masa Rasuk. Saya jadi lebih bebas dalam menilai, mendeskripsikan, dan juga mengartikan apa yang ingin disampaikan oleh mereka tanpa beban untuk membanding-bandingkan.

The Trees and The Wild - Zaman, Zaman Tracklist:
1. Zaman, Zaman
2. Empati Tamako
3. Srangan
4. Monumen
5. Tuah Sebak
6. Roulements
7. Saija

Album ini praktis hanya memiliki tujuh buah lagu saja, namun tujuh buah lagu yang mereka sajikan masing-masing berdurasi sangat panjang. Durasi yang cukup bagi Joyce Manor untuk merekam dua album sekaligus. Lagu terpanjang mereka berjudul “Empati Tamako”, ketika saya melihat durasi yang dimakan oleh lagu ini, saya sempat berpikir bahwa mereka ini berani sekali. Lagu dengan durasi panjang itu ibarat dua sisi mata pedang. Jika dieksekusi dengan baik akan menciptakan sebuah maha karya, seperti “Goodbye Sky Harbor” milik Jimmy Eat World atau tentu saja “Impossible Soul” milik Sufjan Stevens. Bagaimana jika gagal? Tentu kalian sudah tahu akan bagaimana.

Yang menarik perhatian saya ketika album Zaman, Zaman mulai diputar adalah bebunyian noise yang menjadi gerbang pembuka, seperti sebuah sambutan yang mengalir secara bertahap. Bunyi-bunyi yang dihasilkan itu bagai sebuah kristal-kristal yang saling mengalirkan gaung dalam sebuah goa es dengan sirkulasi udara minimum. Menarik sekali karena mereka benar-benar mencoba memasuki realita yang baru, sebuah zaman baru yang dibangun di atas kepercayaan diri TTATW dalam menggabungkan berbagai instrument dalam satu permukaan.

Namun, yang menjadi permasalahan adalah penggabungan instrument itu hanya mampu memberikan efek kejut sementara saja, selebihnya tidak ada yang benar-benar membuat saya excited ataupun membuat bulu kuduk saya berdiri. Sebagai contoh lagu berjudul “Empati Tamako”, lagu ini memiliki potensi yang luar biasa. Dengan lirik pembuka yang tak asing lagi bagi para pendengar TTATW. Semua bagian di lagu ini digagas untuk menarik empati positif terhadap komposisi yang mereka bawakan, paling tidak sampai bagian vokal repetitif berbunyi “Terang yang kau dambakan / hilanglah semua yang kau tanya” itu datang. Jika saya boleh mendeskripsikan perasaan yang saya alami ketika bagian tersebut mulai mengalir, saya akan bilang begini, “Bagian yang repetitif ini seperti daun yang hanyut oleh air sungai. Sekalipun tidak bisa saya temukan dimana letak nikmatnya. Seperti hanya lewat begitu saja atau malah seperti sebuah maze tanpa ujung. Sebuah usaha penciptaan a beauty mess yang sayangnya gagal saya pahami. Tidak ada sesuatu yang substansial, hanya bunyi yang saling bertubrukan.”.

Saya akui, mungkin lagu “Empati Tamako” ini akan terdengar megah ketika dibawakan secara live. Mungkin hanya otak saya saja yang kurang canggih untuk mencernanya. Setelah lagu “Empati Tamako”, barulah saya sadar bahwa album ini mungkin punya cerita yang ingin disampaikan ketika Charita Utamy menyanyikan bait “Semua diam meratap dan menghilang”. Sayangnya cerita itu masih samar-samar untuk saya tangkap. Satu-satunya yang masih bisa saya tangkap adalah bagaimana satu lagu dengan yang lainnya saling membuat jaringan seperti saling menjembatani.

Berbicara mengenai sisi produksi, departemen vokal di Zaman, Zaman cenderung tidak terdengar sama sekali atau memang mereka dengan sengaja melakukan itu untuk memberikan efek sakral? Vokal dengan desibel serendah ini sebenarnya tidak pernah menjadi masalah. Yang pasti, penurunan volume vokal itu tidak mengubah kenyataan bahwa volume instrument lain justru terdengar saling bertindihan, seperti kurang kohesif. Meski begitu, saya menyukai isian bass di album ini. Menurut saya Tyo Prasetya terdengar sangat lugas dan dinamis dengan bassnya. Beberapa bagian yang dia isi sukses mencuri perhatian saya di tengah gemuruhnya kebisingan yang tercipta.

Setelah mendengar secara utuh, saya bisa menyimpulkan bahwa album Zaman, Zaman ini seperti sebuah hit and miss. Beberapa bagian terdengar begitu besar, seperti menggambarkan bahwa anak-anak TTATW memang memiliki gagasan yang besar atas album ini, namun tak sedikit pula bagian yang biasa saja bahkan terkesan overdone. Saya pribadi menyukai lagu “Monumen” yang menurut saya terdengar dan mempunyai kesan begitu kolosal. Merepresentasikan apa itu monumen secara literal.

Menariknya, setelah saya membaca kembali catatan yang saya tulis, saya menemukan sebuah hubungan yang mungkin bisa membantu saya dalam menutup album ini. Lagu “Monumen” tak hanya terdengar memiliki gagasan tinggi, beberapa bagian dari lagu ini juga menarik. Begitu juga dengan lagu “Saija”, lagu ini cukup baik dalam memerankan perannya sebagai sebuah penutup. Lewat lagu “Saija” juga akhirnya saya menyadari bahwa album ini seperti sebuah inkorporasi antara musik tradisional nusantara dengan suara-suara ekstraterrestrial. Gagasan yang menarik.

Album kedua The Trees and The Wild, Zaman, Zaman adalah sebuah album yang sangat ambisius. Kita patut memuji keberanian mereka dalam menggali sesuatu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang ada di debut epik mereka. Meski demikian, saya harus menggaris bawahi bahwa beberapa bagian yang mereka kerjakan terdengar terlalu berlebihan sehingga malah mengaburkan tujuan yang bisa digali lebih lanjut dari rilisan ini. Tapi, paling tidak melalui Zaman, Zaman kita menjadi tahu bahwa The Trees and The Wild punya gagasan yang bombastis atas musik yang mereka mainkan.

Go listen: “Saija”, “Tuah Sebak”, “Monumen”

Year

Country

Categories

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *