Ketika gitar sarat melodi itu menyambut di pembukaan lagu “Beyond Perception”, kita tahu bahwa ada sesuatu yang pantas untuk diperhatikan dari band ini. Asumsi awal tersebut semakin menguat ketika secara teratur komposisi yang mereka siapkan mulai memenuhi alokasi waktu yang terekam. Sepintas band asal kota Malang ini membisikan bahwa mereka siap untuk disebut kurang megah karena produksi yang tidak terdengar seperti band post hardcore modern kekinian, tapi jika kita mau mencondongkan telinga sedikit saja, kita harus siap dengan beragam kejutan yang mereka siapkan. Bersiaplah untuk tenggelam dalam tone gitar yang begitu mengagumkan dan beragam upaya untuk membuat lagu mereka menjadi tidak terduga-duga.
Sebelum mereka bermain bersama dalam unit yang diberi nama Leftover, mereka boleh disebut sebagai sisa-sisa scene emo di kota Malang pada periode 2006-2007 lalu ketika mereka masih aktif bersama dengan band mereka sebelumnya. Ide tentang Leftover ini bermula ketika Andre (Kids Next Door) dan Dimmy (Ceremonial Victory), yang saat itu masih sering menjadi additional player untuk Son of Sundance, mempunyai gagasan untuk tetap bermain bersama dalam sebuah band. “(Mereka- Andre dan Dimmy) ingin tetap melanjutkan band tapi merasa bahwa lineup asli band itu (SOS) tidak tergantikan” ungkap Yogi.
Gagasan itu kemudian disambut dengan baik oleh Yogi dan Gemma (Son of Sundance) yang akhirnya memutuskan untuk membuat band baru bersama. Boleh dibilang bahwa Leftover ini tercetus karena istilah Leftover mewakili status mereka sebagai personel yang tersisa dari band mereka terdahulu. Seiring dengan perjalanan waktu, Gemma memutuskan untuk berpisah dengan Leftover dikarenakan harus fokus pada bisnis kuliner yang dia tekuni. Perpisahan tersebut mereka tanggapi dengan berat hati, namun mereka tetap optimis dengan apa yang mereka lakukan ini.
Sempat tertunda karena miskomunikasi dengan pihak pengelola produksi kaset, EP perdana Leftover berjudul Mistake I Need To Make yang seharusnya dirilis bersamaan dengan Cassette Store Day, 8 Oktober 2016 lalu akhirnya baru resmi dirilis oleh Barongsai Records pada 10 November 2016. EP ini berisikan lima track, termasuk di antaranya sebuah penghormatan terhadap band Malang favorit mereka The Morning After yang lagunya berjudul “Monosyllabic Girl” dibawakan ulang oleh Leftover. Jika dicermati, Leftover tak ragu untuk mengawinkan vokal kasar dari vokalis mereka Andre dengan musik yang melodik, dengan beberapa arpeggio yang dipetik dari instrument gitar. Hasilnya adalah musik yang bagaikan sebuah spektrum ideal, terdengar tak terlalu dibatasi oleh dalil tertentu.
“Kesalahan yang kita lakukan, seburuk apapun itu pasti masih ada nilai positifnya, ada pelajaran yang bisa diambil dari situ.” ungkap Yogi ketika saya menanyakan konsep Mistake I Need To Make. Hal yang ingin mereka sampaikan melalui pemilihan judul ini sebenarnya cukup simpel dan bisa dirangkum dalam dua kata saja, move on-lah. Mereka percaya bahwa segala sesuatu itu mempunyai dua sisi yang jika ditelaah lebih jauh akan berguna bagi perkembangan pribadi mereka sebagai manusia, either blessing or a lesson. Gagasan ini terdengar dalam beberapa lirik yang mereka tulis untuk EP ini. “Beyond Perception”, lagu yang sudah mereka persiapkan sejak lama sebagai materi EP, memiliki sebuah lirik yang terdengar cukup keras namun memiliki makna yang mendalam.
Dalam sebuah lirik yang berbunyi, “Makes yourself suffer, recover, surrender”, yang jika kita baca secara harafiah seperti sebuah kutukan, Leftover justru mengajukan nasehat bahwa ada waktunya kita harus tahu kapan untuk berhenti. Seperti kebutuhan untuk meninggalkan sesuatu yang justru memberikan beban terlebih, “Intinya mungkin ngapain juga kita pertahanin hal yang nggak bisa dipertahankan lagi” tutup Andre. Jika dipikir, mungkin dari sinilah datangnya ide Mistake I Need To Make. Mistake I Need To Make secara sepintas berbicara tentang kesalahan yang harus dilakukan entah karena suatu alasan tertentu. Barulah ketika kita mencermati makna dari “Beyond Perception”, kita akan menemukan benang merah bahwa kesalahan yang sengaja diperbuat itu akan menuntun kepada sebuah momen reflektif. Waktu instropeksi yang sering kita acuhkan, sebuah momen katartik yang akan melepaskan diri dari penjara berkedok ambisi.
Satu hal lain yang perlu dipuji dari band ini adalah bagaimana band ini mampu menyuguhkan dinamika yang cukup elok. Entah ketika mereka berpindah dari saat full frontal menuju fase relaksasi di lagu “Beyond Perception” atau ketika mereka menjembatani bagian verse dengan chorus di lagu “Better Left Unsaid”. Lagu “Better Left Unsaid” tak hanya berisikan anthem masal yang juga merefleksikan judul EP, lagu ini adalah lambang terbaik yang bisa kita bayangkan dari band ini. Sebuah lagu dengan tingkat ledakan tinggi, kemarahan dan teriakan kasar, namun begitu nikmat untuk didengarkan. Jangan lupakan juga potensi yang mampu dicapai ketika lagu ini dibawakan secara langsung.
Di tengah usia band yang begitu muda, Leftover menyimpan ambisi yang begitu terkonsep untuk langkah band ini ke depannya. Tiga langkah pertama yang ingin mereka capai adalah sebuah tur, sebuah video klip baru, dan sebuah proyek yang sampai sekarang belum mau mereka paparkan dengan jelas. Di luar ketiga rencana tersebut, mereka juga masih menyimpan proyek yang tak kalah ambisius, “Mungkin dalam waktu dekat kita akan mulai membuat EP lagi, untuk sementara kita sudah nyicil dua buah lagu.”. ungkap Yogi mengakhiri.
Dengarkan lagu “Better Left Unsaid” di bawah ini.
Tinggalkan Balasan