Tahun 2016 ini adalah sebuah tahun yang penting bagi Divide, album kedua mereka Sakunta/Sarpa akhirnya berhasil mereka rilis juga setelah mengalami berbagai proses pengerjaan yang tidak mudah dan cukup panjang. Malam itu, di sebuah tempat latihan yang juga menjadi basecamp mereka di sebuah tempat di Bintaro, anak-anak Divide menyempurnakan persiapan mereka dalam rangka perilisan album yang bisa dibilang cukup kolosal. Sejak 2010, tahun yang mereka anggap sebagai tahun kelahiran Divide, Divide terus mengeksplor musik mereka sampai mereka pada satu titik dimana mereka merasa bahwa Sakunta/Sarpa adalah pondasi yang penting buat mereka. “Bisa dibilang, ini (Sakunta/Sarpa) adalah karakter kita”, ungkap Bolo, gitaris Divide.

Perjalanan karir Divide memang cukup menarik untuk diceritakan. Berawal dari masa keemasan post-hardcore spiritualis seperti Underoath dan The Devil Wears Prada, anak-anak Divide tertarik untuk membuat sebuah band yang membahas mengenai masalah spiritual dan juga berbagai permasalahan sosial yang terjadi. Uda (vokalis Divide) sendiri mengatakan meskipun mereka tidak menyentuh langsung hubungan manusia dengan Tuhannya, mereka menganggap tema tentang spiritualitas ini sangat menarik untuk dibawakan karena sangat sedikikt sekali band dengan tema tersebut yang ada di Indonesia, “Unik ini di Indonesia belum ada yang ngangkat tema tentang (spiritual) ini.”.

Sebagai band yang bermain di ranah post hardcore dengan nuansa electronic, Uda mengaku cacian dan nada sinis kerap mereka dengar, “Dulu gara-gara kita pakai synth kita pernah dibilang ‘keyboard bencong’.” Kenang Uda tentang hinaan yang mereka terima terhadap musik yang Divide mainkan. Hal ini lanjut Uda merupakan sebuah hal yang bisa dipahami mengingat banyak orang yang biasanya takut dengan apa yang dia tidak tau.

Nyatanya, hinaan dan makian tidak menghentikan Divide dalam membuat musik yang mempunyai makna. “Kita nggak pengen punya lagu dengan lirik asal-asalan, tapi kita pengen punya makna.”. Pernyataan dari Uda ini memang bisa dipertanggungjawabkan sepenuhnya jika kita mendalami musik yang dibuat oleh Divide.  Dari rilisan awal Divide, mereka sudah menulis tentang aborsi, hubungan antar manusia, dan manusia yang kembali kepada Tuhan saat mereka ditekan. “Children are blessing”, kata Uda sambil bercerita tentang makna Commas In Period.

Pemilihan tema spiritualitas diakui pernah memberi Divide sedikit masalah dalam proses pengerjaan album mereka, seperti pada pengerjaan Commas In Period contohnya. “Jadi tiap jam 6 kita selalu ngeledekin Dendeng, “Mampus lo, jam 6 mampus” Pas lagi mulai, tiba-tiba ada yang ngelempar tissue.”. Gangguan itu biasanya sering terjadi pada Maghrib dan apes bagi Dendeng, jam tersebut adalah waktu dimana dia mesti merekam vokal. “Ada yang kayak ngelempar, nggak tau itu tissue atau bukan ke kepala gue, gue sendirian di ruangan itu.” Tapi mereka tidak pernah menganggap hal itu sebagai sesuatu yang benar-benar berarti, “Ikhlasin aja lah.” Dendeng menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak perlu dipikirkan dan memilih untuk terus mengerjakan album.

Dalam usaha penyampaian makna, Dendeng (scream vokal, penulis lirik) mengaku dia bisa mendapat inspirasi dari mana saja. “Lirik biasanya tak jauh dari curhat, tapi biasanya nggak selalu curhat pribadi, bisa dari teman, dari negara, bisa dari dunia, semua hal bisa dijadikan inspirasi, tergantung mood. Apalagi kalau galau, itu lebih cepet dapet inspirasinya.”. Jika kita cermati, kebanyakan lirik yang ditulis oleh Dendeng ini bercerita tentang Tuhan, kenyataan yang diungkapkan Dendeng justru tidak seperti itu, “Terkesannya sih lagi ngomong sama Tuhan, padahal nggak, cuman curhat aja.”.

Bertolak belakang dari keseriusan mereka dalam bermain musik, anak-anak Divide ini hangat dan bersahabat ketika di luar band. Mulai dari celotehan “Damn Daniel! (Back at it again with white Vans)”, saling menertawakan rekan satu band yang lain, seperti “Wilfred dulu rapper.”, sampai menganggap diri mereka sebagai orang yang sedikit kreatif. Salah satu hal lucu yang selalu mereka ingat adalah mereka sering lupa dengan judul lagu mereka sendiri. “Nggak ada yang tau lagunya yang mana, “Coba maenin “Kala” yang mana” nggak ada yang bisa.” ujar Uda. Hal itu mereka akui karena sebelum memberi judul lagu secara resmi, mereka menamai lagu mereka dengan judul seperti, “Berusaha pelan”, “Motivasi Pelan”, “Berusaha Laku”, sampai “Kelar Romadhon.”. Bolo berujar bahwa hal ini semata-mata adalah untuk membuat mereka tidak mudah lupa, “Karena waktu kita bikin sesuatu belum ada judulnya, lo ngasal kan, biar nggak lupa kan. Kalo lo sok-sok an bikin judul kayak “Track 1″ lupa lo cuy.”.

Hilangnya sekat formalitas di dalam band ini adalah hasil dari pertemanan yang sudah mereka jalin cukup lama, “Secara tidak langsung, temen-temen kita ya ini ini doang. Kita nggak punya temen lain.” Alasan ini pula yang membuat gitaris mereka yang sempat cabut ke Belanda, Bolo memutuskan untuk tetap berada di Divide meski terpisah jarak ribuan mil. “Justru di Belanda gue pengen banget ngeband.” Rasa iri mungkin atau kangen yang dirasakan Bolo ketika melihat foto-foto tur dari temannya ini akhirnya menjadi cambukan untuk terus mengirimkan materi baru dari Belanda.”. “Kalo nggak ada yang ngabarin Bolo sebulan gitu, Bolo kayak stress, harus ditanya “Bol apa kabar?”.” ujar Uda dengan nada canda mengomentari keadaan pada tahun tersebut.
 

Pengerjaan awal Sakunta/Sarpa yang dilakukan secara lintas benua ini menurut mereka adalah sesuatu yang sangat berkesan. Meski tidak dipungkiri banyak ketidakcocokan dalam hal musikalitas yang terjadi dalam proses pengerjaan album, “Gue nggak suka ini nadanya gini, gue nggak suka gitarnya gini, harusnya gini.” Uda bercerita tentang konflik yang tiap hari selalu mereka hadapi. “Kita demokratis, kalo menurut kita ada bagian yang nggak oke dan itu minor banget, kita bakal review terus cari apa solusinya.” Ketika masalah seperti ini terjadi, pengambilan keputusan selalu mereka lakukan dengan konsep demokrasi, lebih tepatnya dengan majority vote. Menurut Bolo sendiri anak-anak Divide saling percaya satu sama lain, “Soalnya kita percaya sama selera dari masing-masing personil. Jadi kalo ada yang nggak suka satu, kita ikut mikir.”.

Banyaknya ide dan input yang diberikan oleh masing-masing personil Divide akhirnya membuat musik Divide di album Sakunta/Sarpa ini menjadi berwarna. Bolo menganalogikan hal ini seperti sebuah gelas yang kosong yang kemudian diisi oleh masing-masing personil Divide sehingga hasilnya menjadi optimal. “Jadinya ya seru, seperti es teh manis panas, favorit.”. Terhitung beberapa kali Bolo menganalogikan Sakunta/Sarpa ini sebagai ‘Es Teh Manis Panas’, entahlah artinya apa.

Diversitas yang mereka selami dalam Sakunta/Sarpa ini menurut Uda adalah musik Divide yang mereka cari, “Akhirnya di album ini gue nemu enaknya, menurut gue ini adalah Divide, diverse.”. Karakter tiap personil yang berbeda sendiri menjadi satu, melebur dalam album ini. Sehingga ketika kita mendengarkan Sakunta/Sarpa, kita bisa mendengar sebuah musik yang teatrikal, dibalut dengan lead gitar ribet, dan sesekali diberi sentuhan pop. “Kalo untuk teatrik, gue dengerin Dewa sih. Itu kalo lo kalo dengerin detail banget gitu kan sebenernya isiannya parah banget” bagi Fikrie album Dewa memang memberinya banyak inspirasi dalam menulis lagu.

Selama 6 tahun bermain musik bersama, Fikrie mengaku bahwa idealis mereka sudah mulai berubah. “Dulu kita kalo ada lagu simpel gitu selalu underestimate, kayak “Apaan sih ini lagu.” Idealis kita sudah mulai berubah dari idealis teknik menjadi jualan tapi tetep idealis”. Diakui hal itu sedikit-sedikit mempengaruhi tema dari Sakunta/Sarpa ini. Uda menggambarkannya seperti seekor ular, yang adalah logo mereka di album sebelumnya tengah diganggu oleh burung gagak. “Album kita yang lama itu kan adrenaline pumping gitu kan, nah diganggu sama burung gagak. Jadilah dua buah pikiran yang melebur jadi satu.”. Nyatanya hasil dari dua pikiran yang melebur itu justru mereka setujui sebagai pondasi dari Divide untuk masa depan. “Insya Allah, Sakunta/Sarpa bisa diterima dengan baik.”.

Pengerjaan Sakunta/Sarpa sendiri bisa dibilang cukup memakan waktu. Divide mulai mengerjakan album ini pada 2014 lalu dan baru tahun 2016 ini bisa dirilis. Meski sudah dikerjakan selama dua tahun, hanya di tiga bulan terakhir lah mereka baru benar-benar bisa mengerjakan album Sakunta/Sarpa. “Momentum belakangan lah ya.” Ujar Bolo menanggapi kenapa pengerjaan album ini cukup memakan waktu. Kesibukan masing-masing personil juga cukup menyita perhatian yang membuat pengerjaan album ini meleset dari perkiraan. Dendeng sendiri bercerita bagaimana dia harus mengatur waktu antara bekerja dan menulis lirik, “Gue yang stress, pulang kerja sore, malem harus tetep ngerjain lirik. Soalnya inspirasi baru ada di atas jam 10 malam.”.

Sakunta/Sarpa ini adalah hasil kolektivitas dari semua personil Divide. “Album ini semua ikut ngerjain sih.” ujar Fikrie. Uda juga sempat bercerita bagaimana sosok Wilfred sebagai sosok pemberi solusi dan bisa disebut sebagai motor, “Beberapa lagu kalo kita stuck, ujung-ujungnya selalu tanya Wilfred, dia selalu ngasih solusi”. Pada akhirnya anak-anak Divide sangat berterima kasih dengan kontribusi yang diberikan Nicko. Dalam album ini, Nicko tidak hanya bermain drum saja, tetapi juga merekam materi dan melakukan first stage mixing. “Kita sangat berterima kasih kepada Nicko, kalo nggak ada Nicko, album ini nggak akan pernah jadi.”.

Baca interview versi lengkapnya di Divide Bercerita Tentang Sakunta/Sarpa

 

Artist

Genre

Year

Country

Categories

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *