Band asal Australia ini begitu menarik perhatian ketika mereka mengeluarkan reimagine album dari Unimagine dua tahun yang lalu. Hands Like Houses dinilai berani untuk mengeksplore sesuatu yang benar-benar baru di musik mereka, menjadikan musik mereka lebih kaya

. Beberapa waktu yang lalu, band yang mengusung bendera post hardcore ini merilis sebuah album yang berjudul Dissonants. Secara harafiah arti Dissonants adalah ketidakharmonian. Pertanyaan kemudian muncul, apa mereka akan menelurusi musik mereka lebih dalam lagi? Sehingga muncul sebuah musik yang semakin kompleks yang akhirnya membuat mereka merasa bahwa musik mereka memang tidak harmonis?

Keharmonisan adalah sebuah konsep dimana segala sesuatu serasi. Seakan tidak memberikan ruang untuk gangguan sekecil apapun yang sangat mungkin mengacaukan konsep harmoni. Nyatanya di dunia ini tidak ada yang benar-benar harmonis, yang akhirnya membuat kita percaya bahwa ketidakharmonisan dalam bentuk terkecil masih kita anggap sebagai harmoni. Kembali kepada konsep album Hands Like Houses ini, ketidakharmonisan seperti apa yang mereka maksud? Tentu akan sangat menarik untuk menebak-nebak hal ini sebelum kita mulai mendengarkan Dissonants.

Hands Like Houses - Dissonants  Tracklist:
1. I Am
2. Perspective
3. Colourblind
4. New Romantics
5. Glasshouse
6. Division Symbols
7. Stillwater
8. Momentary
9. Motion Sickness
10. Degree of Separation
11. Gray Havens
12. Bloodlines

Sesuai dugaan, album ini mempunyai sound yang heavy dan menggelegar, sangat cocok jika dimainkan di sebuah stadion kalo menurut saya. Ini bisa menjadi nilai tambah jika memang berada pada takaran yang tepat, sayangnya justru terkesan over produced di beberapa titik. Sayang sekali, padahal mereka punya kesempatan untuk mencapai level kreativitas yang seharusnya lebih tinggi lagi, apalagi dengan kualitas yang mereka pertontonkan dalam album Reimagine. Impresi pertama saya adalah ini sebuah album post-hardcore yang terlalu aman, tapi bisa saja saya salah.

Hands Like Houses ini seperti sangat menyukai efek haunting, praktis sepanjang album mereka selalu menambahkan efek seperti ini baik melalui gitar maupun synth. Buat saya, hal semacam ini menambah layer dari musik itu sendiri, memberikan kesan menyayat hati dan sesekali memberikan kesan megah. Tapi bayangkan kalo selama 45 menit kalian terus mendengarkan hal yang sama? Tentu justru menjadi melelahkan bukan? Dan juga pastinya terdengar repetitif. Sesuatu yang sebenernya tidak pernah terlintas dalam benak saya ketika mendengarkan Reimagine. Reimagine itu sesuatu yang kaya, sementara Dissonants justru seperti mengulang-ulang hal yang sama.

Semua lagu di Dissonants ini, jujur menurut saya terdengar mirip dan tidak ada bedanya. Tidak ada sesuatu yang benar-benar menonjol karena hampir semua lagu mengikuti formula yang sama. Intro megah dengan balutan suara synth, hard cymbal, dan juga bagian lain a la post-hardcore. Praktis, salah satu lagu yang cukup membuat perbedaan adalah “Stillwater”. Berbeda dengan enam lagu pendahulunya, lagu ini tidak dibuka seperti layaknya sebuah konser. Untung saja “Stillwater” ditaruh di track tujuh, jika tidak tentu sudah bosan setengah mati saya. Meskipun lagu ini tidak sepenuhnya “berbeda” tapi awalan lagu ini menjadi seperti sesuatu yang ‘baru’. Oh ya, selepas track “Stillwater” ini, saya merasa bahwa mereka akan merubah halauan mereka untuk track seterusnya. Tebakan saya tidak sepenuhnya meleset, tapi juga tidak sepenuhnya benar. “Momentary” sedikit membuat nafas di album ini, tapi sayang mereka justru cenderung mengulangi hal yang sama di lagu berikutnya.

Album ini juga tidak memiliki lirik yang kuat, walaupun sebenarnya mereka ingin menyampaikan sebuah pesan yang penting. Sayangnya hal itu tidak didukung oleh penyampaian pesan yang efektif. Tema album yang seharusnya dark justru berubah menjadi depresi. Seakan-akan tidak ada jalan keluar dan menjadikan Woodley sebagai orang paling malang di dunia. “All my life, I’ve tried letting you inside, To see the world through my eyes, and all I see is time I’ve wasted. All my life, I thought that I’d lost my mind. If I could just get it right, then you might see, you just don’t get it.” – Perspecitve, satu kata saja untuk menggambarkannya: depresi.

Meski terkesan banyak pengulangan formula, kredit pantas diberikan kepada mereka karena skill bermusik mereka yang mengalami banyak peningkatan. Suara vokalis, Trenton Woodley benar-benar bersinar di album ini. Sejak dulu, suara Woodley memang menjadi aset bernilai bagi Hands Like Houses, tapi di album ini dia benar-benar menggelegar. Suaranya penuh emosi, dengan sesekali disertai distorsi dan grit, benar-benar raw dan mengagumkan sekali. Bass Joel Tyrell juga mengagumkan di sini, terutama di lagu “New Romantics” dan “Momentary”, Tyrell tak segan-segan untuk menari-nari di fret bass dengan gaya funk yang dia mainkan, seakan tidak hanya ingin jadi sekedar pelengkap. Hal menarik lainnya adalah penggunaan sampling drum di beberapa bagian yang membuat album ini mempunyai nuansa elektronik.

Secara skill dari masing-masing personel, memang tidak diragukan bahwa Hands Like Houses ini band yang benar-benar bahaya. Tapi sayang, formula yang mereka mainkan hampir semuanya sama dan judul album Dissonants menjadi semacam jinx bagi mereka sendiri. Bukannya mencoba tidak ‘harmonis’, materi mereka justru sangat seragam membuat album mereka terdengar lama dan sedikit membosankan untuk didengarkan.

Go listen: Glasshouse, New Romantics, Momentary

Artist

Genre

Year

Country

Categories

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *