Musik dan penghargaan adalah dua hal yang punya hubungan dekat. Dalam dunia musik modern, penghargaan macam Grammy Awards, AMA, maupun AMI adalah hal yang ditunggu-tunggu dalam satu tahun kalender. Penghargaan tidak hanya dipakai sebagai bentuk apresiasi terhadap suatu karya musik saja. Lebih dari itu, penghargaan musik berfungsi sebagai acuan apakah yang sedang hype di industri itu sendiri. Meskipun tidak ada keharusan untuk menyukai sang pemenang penghargaan, paling tidak kita jadi tau gimana selera pasar dalam masa waktu tertentu.
Beberapa tahun yang lalu penghargaan musik selalu identik dengan budaya populer, nama-nama pemenang penghargaan biasanya adalah nama-nama yang sudah sering kita dengar di media massa. Bahkan muncul sebuah pandangan bahwa penghargaan musik hanya untuk kaum tertentu saja. Band atau musisi dengan fanbase besar dan coverage media yang intens akan semakin besar, sementara itu band independent dengan sumber daya terbatas hanya akan berkutat di tempat mereka. Hal inilah yang membuat sedikit sekali band yang mampu survive meski sebenarnya mereka punya modal yang cukup untuk bertahan dalam waktu lama. Inilah juga salah satu alasan yang saya pikirkan kenapa skema musik Indonesia hanya didominasi nama itu-itu saja dan band-band lokal biasanya perlu bekerja ekstra di bidang lain untuk menghidupi band mereka.
Meskipun pemikiran ini tidak bisa dibenarkan seutuhnya karena berbagai alasan, paling tidak saya melihat beberapa kasus yang sama di berbagai tempat yang berbeda. Kebanyakan teman saya yang bandnya belum mapan dan belum bisa mendukung finansial secara penuh biasanya memang bekerja di sektor lain untuk menutupi pengeluaran mereka. Hal ini tidak bisa disalahkan karena emang dasarnya mereka mesti menjamin kehidupan mereka sendiri dan kehidupan sebagai anak band belum bisa menjamin mereka. Entah kebetulan atau tidak, hampir sebagian besar dari teman saya itu akhirnya mutusin buat berhenti ngeband dan fokus dengan pekerjaan yang ngasih dia kepastian. Nah, that’s the issue!
Kembali lagi kenapa saya pikir Alternative Press Music Awards ini adalah game changer. Konsep dari APMAS sendiri adalah memberikan spotlight untuk band-band yang bergerak di jalur independent di sana buat dapet perhatian lebih di TV nasional. Oke, emang band independent Amerika dan UK secara fanbase bisa dibilang sudah mengglobal, tapi pada dasarnya mereka juga memulai dengan cara yang sama, rehearsal in $2 per hour studio, playing local gigs, self release album. Lalu apa yang bikin mereka bisa kayak gini? Komunitas.
A Day To Remember tumbuh menjadi band dengan fanbase besar
Band-band top macam A Day to Remember, All Time Low, dan Paramore nggak akan sebesar sekarang tanpa dukungan dari komunitas. Pernah dibahas sebelumnya dalam 20 Tahun Warped Tour, Warped Tour adalah salah satu contoh bagaimana sebuah event tahunan dapat mengangkat sebuah band ke beberapa level di atas mereka dan Warped Tour adalah bagian kecil dari komunitas tersebut. Saya sempat menanyai beberapa teman saya yang intinya menanyakan pengen industri musik Indonesia jadi kayak apa. Dan beberapa dari mereka jawab, kayak musik dunia akhir tahun 90an lah, banyak genre punya porsi berimbang di media. Saya-pun langsung mengamini hal tersebut.
APMAS pada 21 Juli 2014 kemarin lalu mengingatkan saya pada satu hal. Sudah begitu majunya musik independent di negara sana. Bahkan kalo dilihat-lihat sebenarnya audience dari APMAS adalah mereka yang masih berusia remaja, which is good thing. Mungkin beberapa dari mereka sudah lelah dengan lagu electric pop yang secara konsisten ditampilkan oleh MTv dan mereka menemukan kepuasan saat mendengarkan band-band yang dulunya hanya band lokal itu bermain.
Lalu gimana dengan Indonesia? Kalo mereka bisa sukses dengan “komunitas” mereka, kenapa tidak dengan negara-negara lain. Sudah seharusnya apa yang dipertontonkan oleh APMAS bisa menginspirasi berbagai komunitas musik di seluruh dunia bahwa sebenarnya musik mereka pun bisa menjangkau global audience. Festival skala nasional tahunan, sebuah media yang menjadi voice of the independent scene, dan dukungan dari fans adalah indikator-indikator yang bisa dipakai untuk mengangkat scene musik lokal. Karena pada dasarnya scene musik independent di Indonesia sudah sangat baik, why not get it there?
Nggak menutup kemungkinan kita bakal lihat band-band macam Paramore, All Time Low, dan A Day to Remember baru dalam beberapa tahun ke depan yang lahir dari sebuah “komunitas” ini. Bukan hal yang mustahil playlist MTv bakal diisi sama band-band cross genre. Mungkin dalam jangka waktu 30 tahun dari sekarang, APMAS adalah penghargaan yang setara dengan Grammy. Mungkin juga, beberapa tahun dari sekarang band-band indie Indonesia nggak perlu bekerja ekstra di bidang lain buat menghidupi band mereka, mungkin saja.
Tinggalkan Balasan